Pagi
ini aku mulai berkhayal menjadi
seorang bocah tengil,usam,memakai
gelang karet hingga puluhan dilengan kanan. Sandal jepit dengan ukuran yang
lebih besar dari kakiku ini selalu menemani tiap langkah Kaos hitam bertuliskan “Woles” dibagian depan dan
celana panjang hitam pemberian abangku ini menjadi seragam kerja hari ini. Iya,tepat jam 5 pagi
aku sudah siap berangkat kerja seperti yang lain. Tas karung besar dan besi
laras panjang yang runcing dibagian pucuknya sudah siap untuk dibawa. Tak ada sarapan roti dengan aneka selai dan
susu,yang ada hanya sisa nasi dan sayur semalam. aku buka pintu istanaku yang
terbuat dari sisa potongan kayu dari toko kayu bekas sebelah,terhirup aroma
khas daerah yang digunakan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). Aku berjalan
perlahan sembari menyapa orang-orang sekitar yang dengan aktivitasnya
sendiri-sendiri bersiap untuk berjuang hari ini. Lokasi yang akan ku tuju
adalah kawasan pabrik yang pasti disana juga terdapat ribuan orang bertempat
tinggal dikos atau kontrakan. Lokasi pabrik tersebut tidak terlalu jauh dari rumahku,hampir
10Km. Setiap hari aku bisa berjalan dengan jarak yang berpuluh-puluh
kilometer,tak pernah merasa lelah apalagi bosan,aku menikmati setiap
langkahku,aku anggap seperti sedang berpariwisata mengelilingi Indonesia. Kakiku
berjalan dengan cepat,karena tubuhku mungil
dan tak mungkin jangkauan langkah kakiku panjang. Memang sudah jadi kebiasaanku berjalan cepat,tak tau
kenapa,tapi begitu semangat yang kurasakan ketika kukayuhkan kaki ini dengan
cepat. Selain kakiku yang bisa melangkah dengan cepat,kedua mataku juga begitu
jeli ketika ada sampah yang masih bisa dijual lagi. Begitu jelinya kedua mataku
sampai-sampai aku bisa menilai kualitas sampah yang terlihat olehku. Dibantu
oleh kedua tanganku yang terampil dan sigap jika melihat setumpukan
sampah,mengoyak tumpukan sampah,mengorek hingga tumpukan paling bawah. Perjalananku
sampai lokasi diperkirakan masih dua jam lebih,aku memilih lewat jalan
perumahan warga,barangkali menemukan sesuatu yang berharga. Tak jarang juga aku
dilarang masuk komplek perumahan,bukan dilarang oleh warga tapi dilarang masuk
oleh plang atau papan bertuliskan “Pemulung dilarang masuk” dan hal itu
sekarang sudah menjadi tren tiap komplek perumahan. Sampai saat ini aku tidak
tau alasan orang membuat papan dengan tulisan seperti itu. Apakah kehadiranku
menakuti warga atau akan membuat bencana di komplek perumahan,tak tau apa yang
dikhawatirkannya. Tapi aku selalu tenang dan tak menghiraukan papan tersebut,karena aku bukan
pemulung. Jika ditanya warga dan dilarang masuk akan aku jawab bahwa aku bukanlah
pemulung,aku pejabat yang bekerja di Dinas Kebersihan kota setempat yang sedang
melaksanakan tugas dilapangan.
26 November 2013
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Category
Budaya Jepang
(
2
)
Karya pendek
(
3
)
kehidupan
(
8
)
Kehidupan Satwa
(
1
)
Kesehatan
(
2
)
Pendidikan
(
4
)
People and culture
(
1
)
Resensi Buku
(
4
)
Tips n Triks
(
2
)
Umum
(
5
)
0 comments :
Posting Komentar